Kisah yang akan dipaparkan ini adalah tentang Tionghoa, bukan karena ”mendadak” imlek tapi sebuah kisah saja yang ingin dituliskan tanpa strukturisasi penulisan. Kisah ini berangkat dari pagi itu saat belanja di warung dekat rumah. Bertemu dengan seorang Ibu-ibu Tionghoa. Wanita berperawakan kecil ini sangat sering kerumahku untuk menjajakkan sayur-sayuran yang dia ambil dari orang tionghoa juga. Sayur-sayuran itu sudah dibungkus rapih dalam plastik-plastik kecil. Jenis sayuran itu selalu sama, kacang mekah, timun, tomat, dan kecipir. Dan ketika kerumah dagangannya hampir selalu dibeli dengan alasan kebutuhan maupun kemanusiaan, rasa kasihan karena sudah membawa terlalu berat dagangan dengan berjalan kaki.
Ternyata saat Imlek wanita ini belanja di pagi hari, dengan modal Rp. 10.000,- budget yang bisa dikatakan sedikit untuk makanan hari lebaran. Itupun dengan mati-matian menawar, sambil sedikit ngomel. Ternyata uang yang dibelanjakan sejumlah Rp. 4.300,- berisi jagung muda, bayam, daun sop dan kentang. Usut punya usut ternyata malam sebelumnya mertuanya meninggal dunia dirumahnya. Yang aku pikirkan saat itu, seberapa banyak tetangganya melayat, serta membantunya. Karena dilingkungannya orang-orang berkulit sawo. Untuk masuk kerumah orang Tionghoa saja, pasti berpikir dua kali karena biasanya ada Guk-guk.
Budget 10.000,- bagi sebagian masyrakat Tionghoa sangat sedikit, karena rata-rata orang Tionghoa sudah mendominasi perekonomian, walaupun ada hal yang sedikit dilupakan yaitu sistem pemerintahan. Karena pemerintahan ”menolak” keberadaan Tionghoa maka sudah ditanamkan sejak kecil bahwa tak ada pekerjaan buat masyrakat kulit kuning ini selain BERDAGANG.
Masyarakat Tionghoa khususnya di Kalimantan Barat sudah sering disorot, dari masa terusirnya tionghoa dari ”kampungnya” sehingga terjadi pengungsian besar-besaran pada tahun 1967 , sampai-sampai banyak orang kulit kuning ini beralih profesi menjadi pengemis. Ketika itu terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap etnis Tionghoa Kalbar oleh etnis Dayak yang dikenal dengan peristiwa "mangkok merah"
Hingga kemudian Tionghoa bangkit sampai-sampai ingin membangun China’s Town Square diwilayah Jl. Gadjah Mada yang didominasi kulit kuning ini. Dan kini Tionghoa mampu menembus ranah perpolitikkan (2007) dengan mendudukkan seorang Wakil Gubernur dan bersanding dengan seorang Dayak yang historisnya pernah menjadi musuh Tionghoa Kal-Bar. Tidak sedikit mereka yang alergi dengan politik. Sepertinya mereka sudah sadar bahwa politik sangat diperlukan untuk tujuan mereka. Kompleksitas keberadaan etnis ini dipengaruhi oleh filsafat hidup, latar belakang sejarah, lingkungan hidup politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga mempengaruhi pembentukan karakteristik Individu dan kelompoknya.
Harus disadari bahwa keberadaan mereka di kehidupan masyarakat yang beragam adalah dalam rangka menunjukkan eksistensi keberadaanny dari keterjajahan, semoga bukan keinginan memindahkan Beijing di Indonesia.Dan semangat orang kulit kuning ini seharusnya dibarengi dengan nilai-nilai logis perjuangan dan tidak menutup mata atas kebudayaan diluar mereka. Semoga tak ada lagi pengucilan terhadap Tionghoa yang berpindah agama dari agama leluhurnya.
Rabu, 06 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar