Kamis, 13 Maret 2008

Memorable Moment


Tepat tanggal 1 Februari 2008 saya sudah tidak lagi menjabat Program Director di radio tempat aku berkarya. Entah rasanya ada yang hilang dari diri saya. Saat-saat berpacu dengan waktu, saat malam berpusing-pusing hingga terkadang HB rendah entah menguap ke bilik mana. Diskusi-diskusi dengan teman-teman sesama Management, Penyiar, Scripwriter, Operator dan Produksi terasa hari-hari yang penuh makna. Namun disinilah saya mencoba kembali merefresh segala rasa tentang arti perpisahan dan pembelajaran. Perpisahan mengajarkan kita untuk terus belajar, mengahargai mereka yang pernah terlibat dalam alam jiwa dan pikiran. Mencoba belajar untuk merangkum hasi-hasil pertemuan dan pertemanan selama ini, di setiap waktu.

Pertemuan ini bukanlah hasil rekayasa manusia, tetapi ini merupakan garis Taqdir yang mesti kita jalani dan lewati. Pekerjaan ini bukanlah coba-coba. Wajah-wajah kalian adalah perwujudan ”prajurit-parajurit” tawanan perang penjajah yang berusaha bangkit dan memberontak demi tegaknya sebuah kemerdekaan. Merdeka tanpa dusta pada Tauhid, merdeka tanpa caci pada sesama. Prajurit-prajurit di radio ini berlaga bak seorang yang tidak mau kalah pada Goliath yang merampas hak mereka. Mereka sadar apa yang mereka lakukan demi sejarah dan keutamaan anak cucu. Walau kadang peluh menghampiri dan kumal menjadi selimut. Walau kadang perut sudah tidak merasakan peka (karena sering begadang malam dan malas makan) –mereka yang senang menghabiskan waktu diradio.

Entah kadang tanpa sadar kita belum apa-apa, hanya saja jangan sampai kita kalah ”perang” lagi dengan mereka yang telah menjajah aqidah kita. Jangan sampai kita menghirup dan menghembuskan hawa kesombongan pada jiwa. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk Istiqomah walau dengki setan selalu menggoda untuk lari. Dan Jenderal Sudirman mengajarkan kita untuk bergrilya, namun kenapa kita kadang malas bergrilya demi sesuatu.


Hingga suatu saat ada suatu moment yang tak kan bisa aku lupakan, saat perpisahan di kantor kita, yang menyisakan kenangan. Tentang arti cinta dan pertemanan. Karena waktu kini berjalan cepat seolah tak ada celah untuk salah, mengajarkan kita untuk hati-hati dalam setiap langkah hingga terus menghargai orang-orang yang ada disekitar kita. Saya tidak pernah menyangka dan meminta dalam sebuah perpisahan ada sebuah memorable gift. Hadiah yang membuat saya menganga (alamat saya di cap Ndeso) saat itu saya mendapatkan cincin emas bertahta batu mengkilap. Cincin dari Radio ini ada dua, pertama ketika sau mau nikah, melepas masa lajang, dan kedua ketika saya mau hijrah. Ahh, alangkah murah hatinya Alloh padaku. Ahh, alangkah mulianya ”para komandan dan prajurit” ini. Aku berterima kasih. Sangat. Bukan karena materi yang sudah diberikan tetapi, semangat akan memberi cinta dan membagi jiwa surgawi.

Untuk Radio Mujahidin FM 105.8
Moga Alloh mengabadikan kebaikan kalian dalam tinta emas penuh kemuliaan.
Read the rest of this entry

Senin, 11 Februari 2008

Being a Good Parenting, Heart to Heart










By: S. Wara Dewantoro

The new couple of the age, more feel confuse how manage their children earlier. They do with their feeling of they heart. Whereas the strategic of parenting to mold their children knowing the science early. Heart to heart is the strategic of parents to plug in their children. There are some ways how being a good parenting.

1. Lets your children know what you do and involved in your children’s life

Communication between children and parents need quality of frequency. How make the good respond, it’s should be of well knowledgeable. Lets your children proud what the parents do, maybe you can invite them go to your work place. Get the effect of this communication. Certainly your children also will tell everything about themselves and can help accomplish their problem. Positioning as a friend, teacher, parents is need skill to arrange. When your children need you as a friend you must work hard to involved their life. Know their mentally and physically. In one time, we suggest you, to go a long day to talking about things.

2. Loving but not too loving

When you loving it does not mean you give everything that they need. What they want, you must buy. No, it is not good expression. It can be increase your children go to expectations or material possessions. Giving them what they should be get, like a consequence of achievement, diligence or discipline.

3. Establish and set rules but don’t bit their independence

The rules for your children behavior must be applied earlier. It is useful when they going to be mature. They can manage their live, organization, job, and education. They can stand alone and survive of living. There are some question that you must be answer when the night. “Where is my child, who is their friend, what is my child doing?” Discipline is need firmness. There is award and punishment. But, remember don’t bit their independence what their decided, during its good and not run into badness. You also develop their sense of self-control and self direction. Knowing activate also educated daily. Avoid the harsh discipline because it makes distance between you and your children.

4. Explain your rules or decisions and be consistent

The communication and expression in rules must be known by your children. Let they know. And saying heart to heart and with awareness well. The more your authority is based on wisdom and not on power, the less your child will challenge it. The consistency of establish the rules is start from 1-5 years, 6-12 years, 12-up to. Make the different rules. Identify your non-negotiable. “If your rules vary from day to day in an unpredictable fashion or if you enforce them only intermittently, your child’s misbehavior is your fault, not his. Make sure your rule is besides home age of children.

5. Treat your child with respect and good expression


The best way to get respectful treatment from your child is to treat him respectfully. Respect his opinion. Pay attention when he is speaking to you. You should give your child the same courtesies you would give to anyone else. Speak to him politely and kindly. Children treat others the way their parents treat them. Your relationship with your child is the foundation for her relationships with others.

Kamis, 07 Februari 2008

Gimbal Reggae VS Gimbal Jagung

Postingan Jum’at ini tentang wisata dapur. Akibat latah acara TV setiap hari sabtu dan minggu berkisar tentang dapur. Maka, sebelum sabtu sudah saya posting, dan semoga bisa dicoba. Sekedar share info, kamis kemaren Bob Marley dirayakan penggemarnya atas hari ulang tahun walaupun kenyataanya Bob Marley sudah meninggalkan dunia sejak beberapa tahun yang lalu. Perayaan 63 tahun Bob Marley dirayakan dengan pemilihan orang yang mirip Bob Marley, dan kemudian bernyanyi ala Reggae Bob Marley. Rata-rata rambutnya pun di buat gimbal, entah berapa banyak obat kimia yang nemplok dirambut gimbal. Entah berapa lama tidak mencuci rambut, sehingga saat goyang reggae, mungkin terdapat kutu yang juga bergoyang, hihihi.

Mengingat gimbal saya juga mengingat gimbal jagung, sehingga menu masakan sabtu ini seputar Gimbal. Rambut gimbal reggae juga sepertinya terinspirasi dari “rambut” gimbal pirangnya jagung. Namun sayang jagung tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa pula mematenkan rambut gimbalnya. Hehe.

Nah, resep lauk ini cocok sekali buat para jomblowan dan jomblowati, yang punya kesibukan kuliahnya ataupun berkutat pada arsip-arsip kerja. Tapi dipraktekkan buat ibu-ibu juga enak loh. Sangat gampang dan bahkan sudah diketahui banyak orang tapi kalo yang belum pernah mencoba, yuk coba. Gampang sekali, bahan dasarnya cukup mudah yaitu Jagung, tetapi jagung manis.


Bahan – bahannya:

Jagung Manis sebanyak 5 bonggol (yang kecil-kecil, kalau yang besar cukup 3 bonggol jagung).
Sahang 1 1/2 sendok teh/sendok bumbu.
Bawang putih 4 siung.
Gula sejumput jari (jangan kebanyakan, ntar hasil gorengannya jadi aga hitam).
Garam satu sendok teh peres (secukupnya, tergantung selera).
Kemiri secukupnya (sebagai pengganti penyedap rasa, kalo ada alternatif lain boleh seperti masako; sesuai selera).
Telur 2 butir.
Tepung 5 sendok makan (kekentalan disesuaikan).

Cara membuat :

Jagung yang sudah dicuci di pipil semuanya, kemudian ditumbuk kasar merata.
Masukkan telur, aduk.

Bumbu; sahang, garam, gula, bawang putih ditumbuk halus.
Setelah halus masukkan ke adonan jagung yang sudah ditumbuk kasar. Kemudian aduk hingga rata.
Masukkan kemiri (yang sudah dihaluskan) / penyedap rasa lainnya, aduk.
Masukkan tepung, nah aduk semuanya hingga merata.

Nah sudah diaduk semuanya, maka dibiarkan sejenak hingga meresap bumbu-bumbunya, kemudian tinggal digoreng. Siap disajikan. (buat suamiku, kasihan deh, ga bisa nyicip, hehe).

Buat para pembaca, selamat mencoba, dan silahkan kopas. Sudah dicoba didapur Wara ^_^

Rabu, 06 Februari 2008

Budget 10.000,- Tionghoa

Kisah yang akan dipaparkan ini adalah tentang Tionghoa, bukan karena ”mendadak” imlek tapi sebuah kisah saja yang ingin dituliskan tanpa strukturisasi penulisan. Kisah ini berangkat dari pagi itu saat belanja di warung dekat rumah. Bertemu dengan seorang Ibu-ibu Tionghoa. Wanita berperawakan kecil ini sangat sering kerumahku untuk menjajakkan sayur-sayuran yang dia ambil dari orang tionghoa juga. Sayur-sayuran itu sudah dibungkus rapih dalam plastik-plastik kecil. Jenis sayuran itu selalu sama, kacang mekah, timun, tomat, dan kecipir. Dan ketika kerumah dagangannya hampir selalu dibeli dengan alasan kebutuhan maupun kemanusiaan, rasa kasihan karena sudah membawa terlalu berat dagangan dengan berjalan kaki.

Ternyata saat Imlek wanita ini belanja di pagi hari, dengan modal Rp. 10.000,- budget yang bisa dikatakan sedikit untuk makanan hari lebaran. Itupun dengan mati-matian menawar, sambil sedikit ngomel. Ternyata uang yang dibelanjakan sejumlah Rp. 4.300,- berisi jagung muda, bayam, daun sop dan kentang. Usut punya usut ternyata malam sebelumnya mertuanya meninggal dunia dirumahnya. Yang aku pikirkan saat itu, seberapa banyak tetangganya melayat, serta membantunya. Karena dilingkungannya orang-orang berkulit sawo. Untuk masuk kerumah orang Tionghoa saja, pasti berpikir dua kali karena biasanya ada Guk-guk.

Budget 10.000,- bagi sebagian masyrakat Tionghoa sangat sedikit, karena rata-rata orang Tionghoa sudah mendominasi perekonomian, walaupun ada hal yang sedikit dilupakan yaitu sistem pemerintahan. Karena pemerintahan ”menolak” keberadaan Tionghoa maka sudah ditanamkan sejak kecil bahwa tak ada pekerjaan buat masyrakat kulit kuning ini selain BERDAGANG.

Masyarakat Tionghoa khususnya di Kalimantan Barat sudah sering disorot, dari masa terusirnya tionghoa dari ”kampungnya” sehingga terjadi pengungsian besar-besaran pada tahun 1967 , sampai-sampai banyak orang kulit kuning ini beralih profesi menjadi pengemis. Ketika itu terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap etnis Tionghoa Kalbar oleh etnis Dayak yang dikenal dengan peristiwa "mangkok merah"

Hingga kemudian Tionghoa bangkit sampai-sampai ingin membangun China’s Town Square diwilayah Jl. Gadjah Mada yang didominasi kulit kuning ini. Dan kini Tionghoa mampu menembus ranah perpolitikkan (2007) dengan mendudukkan seorang Wakil Gubernur dan bersanding dengan seorang Dayak yang historisnya pernah menjadi musuh Tionghoa Kal-Bar. Tidak sedikit mereka yang alergi dengan politik. Sepertinya mereka sudah sadar bahwa politik sangat diperlukan untuk tujuan mereka. Kompleksitas keberadaan etnis ini dipengaruhi oleh filsafat hidup, latar belakang sejarah, lingkungan hidup politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga mempengaruhi pembentukan karakteristik Individu dan kelompoknya.

Harus disadari bahwa keberadaan mereka di kehidupan masyarakat yang beragam adalah dalam rangka menunjukkan eksistensi keberadaanny dari keterjajahan, semoga bukan keinginan memindahkan Beijing di Indonesia.Dan semangat orang kulit kuning ini seharusnya dibarengi dengan nilai-nilai logis perjuangan dan tidak menutup mata atas kebudayaan diluar mereka. Semoga tak ada lagi pengucilan terhadap Tionghoa yang berpindah agama dari agama leluhurnya.

Sajak Buat Ghuroba


Semasa SMA aku dan teman-teman sangat bangga dengan syair Ghuroba. Pesan Ghuroba lah yang membuat kami tetap bersemangat menapaki hari, menjajaki idealisme, saling memberi cinta saling memberi jiwa. Saat itu jiwa kami sama jiwa Ghuroba. Namun syair-syair itu jarang lagi aku dengar disenandungkan. Ya mungkin radio-radio kini tak bisa memperdendangkan syair itu. Padahal aku ingin suatu saat mendengarkan di radio dendang Ghuroba.


Sajak Ghuroba kini menjelma dalam kehidupan anak-anak muda zamannya. Diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Untuk Ghuroba, aku ingin menyenandungkan kembali syairmu, perlahan-lahan dengan menundukkan jiwa.


“Ghuroba, kami takkan meletakkan meletakkan kening kepada selain Alloh
Kami rela ia sebagai syiar bagi kehidupan kami
Jika engkau bertanya siapa kami,
Kamilah orang yang tak gentar dengan thagut durjana kamilah tentara Alloh,
langkah kami langkah ksatria.
Kami tak peduli dengan belenggu
Terus maju menuju keabadian
Kami terus berjihad dan berjuang dan berperang kembali di jalan-Nya
Ghuroba itulah orang-orang merdek ditengah para budak.

Betapa sering kami mengingat masa lalu
Disaat umat Islam berbahagia
Dengan Kitab Alloh yang selalu dibaca
Diwaktu pagi dan dikala senja”


Moment kenangan ini aku persembahkan bagi mereka yang merasa terasing hidup di kehidupan nyata. Dari satu pulau menuju seribu pulau. Sajak Ghuroba menemani para mahasiswa yang selalu ”kehilangan” tujuan.

Jalan Kenangan Jul Murah


Jul Murah adalah dua nama yang digabungkan. Dua wanita inspiring. Sederhana namun pasti. Jul sore itu mengenakan rok berwarna merah dengan hiasan bola-bola putih dengan atasan kemeja garis-garis. Cukup semarak. Setiap sore, aku melintasi jalan panjang kenangan menuju tempatku berteduh. Sore, kurang lebih antara pukul 16.30-17.00 WIB


Aku melewati jalan itu, dan tanpa sadar secara rutinitas aku menyapanya dengan membunyikan klakson motorku. “Jul!” kulambaikan tanganku saja, sambil terus melintas. Aku dan Jul tidak pernah berdialog secara terbuka dan lama padahal Jul sering main kerumahku setiap hari Minggu, karena disanalah ia belajar agama. Belajar dengan Kakakku. Dan aku juga terlalu sibuk, sehingga lupa menyapa Jul.

Kini Jul, dulu Mbak Murah. Mbak Murah adalah wanita yang juga naik sepeda. Keduanya mampu naik sepeda sejauh 20-25 km bahkan lebih. Wanita yang kuat untuk jaman sekarang. Uniknya, merekalah yang ”menemani” sore-sore ku, rutinitas sepulang kerja atau pun mau pergi kerja menyusuri jalan kenangan, Jl. Arteri Supadio. Mbak Murah, sewaktu aku pulang sering ku pegang tangannya, menariknya dengan sepeda yang dia tumpangi dan aku dengan motorku.


Kini, Mbak Murah jarang kutemui, wanita yang Tuhan anugerahi fisik yang sederhana ini entah dimana sekarang. Aku teringat dulu mbak Murah pernah punya harapan, ingin menikah. Tapi entah lelaki mana yang kan melamarnya. Yang aku sesalkan adalah kenapa aku hanya menyapa bukannya berbincang. Maafkan aku Jul dan Murah, aku menyayangi kalian dalam kesederhanaan. Semoga Alloh menyayangi kalian dalam kemewahan.


Selasa, 29 Januari 2008

Puisi Jiwa



Sesering apakah kita berpuisi. Dalam setiap keheningan, momentum besar, dan keterpurukan biasanya lahir puisi-puisi indah, begitu memukau dengan energi tanpa batas. Puisi menjadikan ukhuwah yang retak bisa tersambung lagi. Ada suatu cerita dan banyak sekali kisah puisi dari imel ke imel atau bahkan memenuhi ruang layar monitor telepon genggam. Ini tanda tak habis puisi jika dilumat. Seorang Chairil Anwar mengatakan sesuatu dengan puisi, begitu pula dengan Taufik Ismail. Tak kalah juga seorang anak bernama Abdurrahman Faiz. Mereka adalah contoh kecil dari berjuta orang yang berkata dengan puisi.

Istri Chairil Anwar, Sri Ajati, adalah wanita yang termasuk beruntung bisa menikmati puisi khusus buatnya.

”Senja di Pelabuhan Kecil”
(Buat Sri Ajati)

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Dari : Deru Campur Debu (1949)


Sri Ajati alias Ny. R.H. Soeparsono adalah Istri Chairil Anwar yang mengaku tidak pernah menerima puisi cinta ataupun ungkapan cinta secara langsung kepada istrinya. Saya jadi teringat bahwa memang sedikit mengalami kesulitan bagi seorang lelaki untuk mengungkapkan pada istrinya. Entah karena gengsi ataupun malu.

Sri Ajati begitu terharu, sebuah ungkapan jujur bagi seorang wanita yang biasanya menerima puisi. Terharu, dan tersipu malu. Tap jangan sembarangan membuat puisi, salah-salah bisa norak. Konon sajak tersebut indah sekali, Sri Ajati sendiri yang pernah berprofesi menjadi seorang penyiar di Radio Jepang mengakui bahwa merasa tergetar dan sedih ketika membaca puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil”. Buat anda jangan sungkan berpuisi, walau seluruh orang mengejekmu, kamu akan tetap tegar di imajinasi tanpa batas.

”Senja di Pelabuhan Kecil” Itulah bentuk cinta Chairil Anwar, dan inilah bentuk cintaku...

Aku Istrimu

(buat Suamiku)


Temani aku dalam sedih dalam galau

Ada senang ada kegembiraan

Yang menghapus kesedihanku

Dan kesenanganku adalah engkau

Mengertimu adalah kebanggaan

Menemanimu makan adalah kesenangan

Dibandara Adisucipto adalah muara cinta tanpa batas

Kau memandangiku dengan sejuta kebaikan dan hal tersebut

Adalah penghargaan buat wanitamu