Selasa, 29 Januari 2008

Puisi Jiwa



Sesering apakah kita berpuisi. Dalam setiap keheningan, momentum besar, dan keterpurukan biasanya lahir puisi-puisi indah, begitu memukau dengan energi tanpa batas. Puisi menjadikan ukhuwah yang retak bisa tersambung lagi. Ada suatu cerita dan banyak sekali kisah puisi dari imel ke imel atau bahkan memenuhi ruang layar monitor telepon genggam. Ini tanda tak habis puisi jika dilumat. Seorang Chairil Anwar mengatakan sesuatu dengan puisi, begitu pula dengan Taufik Ismail. Tak kalah juga seorang anak bernama Abdurrahman Faiz. Mereka adalah contoh kecil dari berjuta orang yang berkata dengan puisi.

Istri Chairil Anwar, Sri Ajati, adalah wanita yang termasuk beruntung bisa menikmati puisi khusus buatnya.

”Senja di Pelabuhan Kecil”
(Buat Sri Ajati)

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Dari : Deru Campur Debu (1949)


Sri Ajati alias Ny. R.H. Soeparsono adalah Istri Chairil Anwar yang mengaku tidak pernah menerima puisi cinta ataupun ungkapan cinta secara langsung kepada istrinya. Saya jadi teringat bahwa memang sedikit mengalami kesulitan bagi seorang lelaki untuk mengungkapkan pada istrinya. Entah karena gengsi ataupun malu.

Sri Ajati begitu terharu, sebuah ungkapan jujur bagi seorang wanita yang biasanya menerima puisi. Terharu, dan tersipu malu. Tap jangan sembarangan membuat puisi, salah-salah bisa norak. Konon sajak tersebut indah sekali, Sri Ajati sendiri yang pernah berprofesi menjadi seorang penyiar di Radio Jepang mengakui bahwa merasa tergetar dan sedih ketika membaca puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil”. Buat anda jangan sungkan berpuisi, walau seluruh orang mengejekmu, kamu akan tetap tegar di imajinasi tanpa batas.

”Senja di Pelabuhan Kecil” Itulah bentuk cinta Chairil Anwar, dan inilah bentuk cintaku...

Aku Istrimu

(buat Suamiku)


Temani aku dalam sedih dalam galau

Ada senang ada kegembiraan

Yang menghapus kesedihanku

Dan kesenanganku adalah engkau

Mengertimu adalah kebanggaan

Menemanimu makan adalah kesenangan

Dibandara Adisucipto adalah muara cinta tanpa batas

Kau memandangiku dengan sejuta kebaikan dan hal tersebut

Adalah penghargaan buat wanitamu